Jumat, 07 Februari 2014

laporan hasil observasi anak berkebutuhan khusus



Anak Berkebutuhan Khusus ( Tuna Netra)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Anak dengan kebutuhan khusus perlu dikenal dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, latihan-latihan therapeutic, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan untuk membantu mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.
Dalam rangka mengidentifiksi (menemukan) anak dengan kebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan tentang berbagai jenis dan gradasi (tingkat) kelainan anak, diantaranya adalah kelainan fisik, mental intelektual, social, emosional. Di luar jenis kelainan tersebut terdapat anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau sering disebut sebagai anak yang memiliki kecerdasan dan bakat luar biasa. Masing-masing memiliki ciri dan tanda-tanda khusus atau karakteristik yang dapat digunakan oleh guru untuk menandai dalam rangka identifikasi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus.
Dalam proses pembelajaran di SD, guru sering menemui anak yang tergolong kedalam anak berkebutuhan khusus, sehingga guru sering menghadapi berbagai masalah. Masalah yang dihadapi tersebut diantaranya adalah guru tidak dapat memberikan pelayanan yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah guru harus dapat mengidentifikasi dan menentukan layanan pendidikan yang sesuai.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis melakukan penelitian tentang anak berkebutuhan khusus tuna netra. Melalui observasi ini diharapkan mahasiswa calon guru dapat mengidentifikasi anak yang berkebtuhan khusus dan dapat memberikan layanan yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus. Atas dasar pandangan itu, dilakukan penelitian tentang “Anak Berkebutuhan Khusus Tuna Netra Di Sdlb  Bendo Untuk Anak Kelas 2, 4, 5” 
1.2  Tujuan Observasi
1.        Untuk mengetahui secara langsung anak yang mengalami gangguan tuna netra.
2.        Untuk mengetahui karakteristik anak yang tuna netra.
3.        Untuk mengetahui kendala yang dihadapi guru dalam mengajar anak tuna netra.
4.        Untuk mengetahui layanan yang sesuai untuk anak tuna netra.
1.3 Manfaat
Hasil observasi ini diharapkan bermanfaat bagi:
1.        Bagi Guru
Melalui observasi ini diharapkan guru dapat merefleksi pelaksanaan kegiatan pembelajaran tentang pentingnya penggunaan strategi dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas agar proses pembelajaran yang dilakukan bisa lebih inovatif dan menyenangkan sesuai dengan karakteristik siswa berkebutuhan khusus. Sebagai masukan dalam mengelola dan meningkatkan kedisiplinan belajar serta dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran agar pemebelajaran yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Serta guru dapat menciptakan pembelajaran yang menarik dan interaktif.
2.        Bagi SDLB Bendo
Dengan adanya penelitian tentang penggunaan rencana pelaksanaan pembelajaran maka diharapkan dapat dipakai sebagai  bahan pertimbangan untuk menilai guru yang mengajar dan memberikan layanan yang terbaik untuk ABK.
3.        Bagi Penulis
Observasi ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dengan terjun langsung ke lapangan  dan memberikan pengalaman belajar yang menumbuhkan kemampuan dan ketrampilan meneliti serta pengetahuan yang lebih mendalam terutama pada bidang yang dikaji. Melalui observasi ini diharapkan penulis mengetahui keadaan real di lapangan mengenai penggunaan media serta layanan-layanan apa saja yang digunakan dalam proses belajar mengajar siswa berkebutuhan khusus khususnya pada anak tuna netra.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
2.2 Definisi Anak Tuna Netra
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2.3 Karakteristik Anak dengan Kebutuhan Khusus
Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak dengan kebutuhan khusus.
Ciri-ciri tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan adalah sebagai berikut, tidak mampu melihat, tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter, kerusakan nyata pada kedua bola mata, sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan, mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya, bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering, peradangan hebat pada kedua bola mata, mata bergoyang terus.

2.4 Klasifikasi Anak Tunanetra Berdasarkan Adaptasi Pendidikan
Klasifikasi tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman penglihatan, tetapi didasarkan pada adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang sangat penting dalam membantu mereka belajar atau diperlukan dalam membantu layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya.
Kirk (1989: 348-349) berpendapat bahwa, klasifikasi tunanetra yaitu sebagai berikut:
a)        Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
Pada taraf ini, mereka dapat melakukan tugas-tugas visual yang dilakukan oleh orang “awas” dengan menggunakan alat bantu khusus dan dibantu dengan pemberian cahaya yang cukup.
b)        Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability)
Pada taraf ini, mereka memiliki kemampuan penglihatan yang kurang baik atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat bantu visual dan modifikasi sehingga mereka membutuhkan lebih banyak waktu dan energi dalam melakukan tugas-tugas visual.
c)        Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability)
Pada taraf ini mereka mendapat kesulitan untuk melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail, seperti membaca dan menulis huruf “awas”. Dengan demikian, mereka tidak dapat menggunakan penglihatannya sebagai alat pendidikan sehingga indra peraba dan pendengaran memgang peranan penting dalam menempuh pendidikannya.
2.5  Karakteristik Tunanetra
2.5.1    Fisik (Physical)
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya : Mata juling; Sering berkedip; Menyipitkan mata; Kelopak mata merah; Mata infeksi; Gerakan mata tak beraturan dan cepat; Mata selalu berair (mengeluarkan air mata); Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.

2.5.2        Perilaku (Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini : Menggosok mata secara berlebihan; Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan; Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata; Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan; Membawa bukunya ke dekat mata; Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh; Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi; Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca; Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata; Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh; Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal; Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat; Merasa pusing atau sakit kepala; Kabur atau penglihatan ganda.
2.5.3  Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
2) Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
a.        Curiga terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri.
b.        Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang emosional.
c.          Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak kecil.
2.5.4    Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman & Osborn (1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak normal.
a.         Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak normal, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurangterintegrasikan.
b.        Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak normal, dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehention) dan persaman.
c.         Kosa kata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.
2.6      Kebutuhan dan Layanan Pendidikan bagi Tunanetra
Anak tunanetra sebagaimana anak lainnya, membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Oleh karena adanya gangguan penglihatan, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya, yang meliputi: latihan membaca dan menulis huruf Braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta latihan visual/fungsional penglihatan.
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu secara terpisah dari anak normal; dan integrasi atau terpadu dengan anak normal di sekolah biasa. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi, meliputi: sekolah khusus (SLB-A), SDLB, dan kelas jauh/kelas kunjung. Bentuk-bentuk keterpaduan yang dapat diikuti oleh anak tunanetra yang mengikuti sistem integrasi, meliputi: kelas biasa dengan guru konsultan, kelas biasa dengan guru kunjung, kelas biasa dengan ruang-ruang sumber, dan kelas khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra; pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran bagi anak normal, hanya dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi sehingga pesan atau materi pelajaran yang disampaikan dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran anak tunanetra: individual, kekonkritan/pengalaman penginderaan, totalitas, dan aktivitas mandiri (selfactivity).
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi: media untuk menjelaskan konsep (alat peraga) dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran (alat bantu pembelajaran). Alat peraga yang dapat digunakan dalam pembelajaran anak tunanetra meliputi: objek atau situasi sebenarnya, benda asli yang diawetkan, tiruan /model (tiga dimensi dan dua dimensi), serta gambar( yang tidak diproyeksikan dan yang diproyeksikan ). Alat bantu pembelajaran, antara lain meliputi: alat bantu menulis huruf Braille (reglet, pen dan mesin ketik Braille); alat bantu membaca huruf Braille (papan huruf dan optacon); alat bantu berhitung (cubaritma, abacus/sempoa, speech calculator), serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder.
2.7              Strategi Pembelajaran Anak Tunanetra
ü  Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1.        Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak.
2.        Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan.
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra pada hakikatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak normal, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1) Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
2) Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
2.8      Bentuk Layanan Pendidikan Anak Tunanetra di Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu anak tunanetra agar mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui program bimbingan, pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian khusus dalam hal interaksi sosial di sekolah. Dalam hal ini, guru memiliki peran yang besar, agar anak tunanetra memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan individu lain yang berada di sekitar sekolah. Guru membimbing anak tunanetra secara bertahap, disesuaikan dengan dasar pengalaman anak tunanetra ketika berada dalam lingkungan rumahnya.
Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
1.        Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun dari sisi interaksi orang per-orang.
2.        Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
3.        Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman kognitif, afektif dan psikomotornya.
4.        Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
5.        Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan kontak.
6.        Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan dilakukan dengan teman sebaya.
7.        Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.
8.        Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.
Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak diturunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses belajar, bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang positif dan negatif, secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi anak tunanetra dalam berinteraksi. Untuk menghindari terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak tunanetra dalam bergaul perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat pada diri anak tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra juga dapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam berinteraksi dengan lingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial.
Strategi khusus dan isi layanan pendidikan bagi anak tunanetra menurut Hardman, M.L. dkk (1990) paling tidak meliputi 3 hal, yaitu (a) mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan ruangan ; (b) tradisional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya, keterampilan berhitung dan (c) communication media, yaitu penguasaan Braille dalam komunikasi.
Anastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (1995) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tunanetra meliputi :
a.       Penguasaan Braille
Penguasaan Braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca Braille. Keteranpilan menulis berkaitan dengan penggunaan alat tulis Braille, yaitu reglet, mesin ketik Braille ; penulisan huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer Braille. Sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari berbagai media tulisan.
b.      Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan WC, di kamar makan, di kamar tidur, di dapur, di kamar tamu sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang lain.
c.   Penggunaan alat bantu dalam pembelajran berhitung dan matematika, meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa konsep matematika Braille.
d.    Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tunanetra. Pembelajaran pendidikan jasmanai bagi anak tunanetra menggunakan pendidikan jasmani adaftif. Adaptasi yang dilakukan berkaitan dengan jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak dan memodifikasi sarana dan prasarana olahraga meliputi ukuran lapangan/lintasan, alat yang digunakan dalam olah raga, dan aturan yang dipakai.
e.    Pembelajaran IPA
 Dalam pembelajaran IPA sedapat mungkin menggunakan model yang dapat diamati dan diraba oleh anak.

2.9              Fasilitas atau Alat-alat yang Diperlukan dalam Belajar AnakTunanetra
Alat pendidikan bagi tunanetra dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu alatpendidikan khusus, alat bantu dan alat peraga.
a.         Alat pendidikan khusus anak tunanetra antara lain: 1) Reglet dan pena atau stilus, 2) Mesin tik Braille, 3) Komputer dengan program Braille, 4) Printer Braille, 5) Abacus, 6) Calculator bicara, 7) Kertas braille, 8) Penggaris Braille, 9) Kompas bicara, 10) Tongkat putih, 11) Tongkat Laser (Laser Cane), 12) Sonic Guide (Penuntun Bersuara).
b.        Alat Peraga. Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran. Alat peraga tersebut antara lain:1. benda asli : makanan, minuman, binatang peliharaan  2. benda asli yang diawetkan : binatang liar/buas atau yang sulit di dapatkan, 3. benda asli yang dikeringkan, 4. benda/model tiruan; model kerangka manusia, model alat pernafasan.
Fasilitas penunjang pendidikan untuk anak tunanetra secara umum sama dengan anak normal, hanya memerlukan penyesuaian untuk informasi yang memungkinkan tidak dapat dilihat, harus disampaikan dengan media perabaan atau pendengaran. Fasilitas fisik yang berkaitan dengan gedung, seharusnyajumlah parit yang sedikit dan variasi tinggi rendah lantainya, menghindari dinding yang mempunyai sudut lancip dankeras. Perabot sekolah sedapat mungkin memiliki sudut yang tumpul.
Fasilitas penunjang pendidikan yang diperlukan anak tunanetra menurut Anastasia Widjajanti dan Immanuel Hitipeuw (1995) adalah Braille dan peralatan orientasi dan mobilitas, serta media pelajaran yang memungkinkan anak untuk memanfaatkan fungsi perabaab dengan optimal.
Fasilitas pendidikan bagi anak tunanetra antara lain adalah :
a.         Huruf Braille
Huruf Braille merupakan fasilitas utama penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunanetra. Huruf Braille ditemukan pertama kali oleh Louis Braille. Cara membaca huruf Braille sama seperti pada umumnya yaitu dari kiri ke kanan. Sedangkan untuk menulis, prinsip kerjanya berbeda dengan membaca. Cara menulis huruf Braille tidak seperti pada umumnya yaitu mulai dari kanan ke kiri, biasanya sering disebut dengan menulis secara negatif. Jadi menulis Braille secara negatif akan menghasilkan tulisan secara timbul positif, yang dibaca adalah tulisan timbulnya.
Ada tiga cara untuk menulis Braille, yaitu dengan (1) reglet dan pen atau stilus, (2) mesin tik Braille, dan (3) computer yang dilengkapi dengan printer Braille. Media yang digunakan berupa kertas tebal yang tahan lama (manila, atau yang lain). Kertas standar untuk Braille adalah kertas braillon.
b.        Tongkat putih
Tongkat putih merupakan fasilitas pendukung anak tunanetra untuk orientasi dan mobilitas. Dengan tongkat putih anak tunanetra berjalan untuk mengenali lingkungannya. Berbagai media alat bantu mobilitas dapat berupa tongkat putih, anjing penuntun, kacamata elektronik, tongkat elektronik.
Program latihan orientasi dan mobilitas meliputi jalan dengan pendamping awas, jalan mandiri, dan latihan bantu diri (latihan di kamar mandi dan WC, latihan di ruang makan, latihan di kamar tidur, latihan di dapur, latihan di kamar tamu) dan latihan orientasi sekolah.

c.         Laser cane (tongkat laser)
Tongkat laser adalah tongkat penuntun berjalan yang menggunakan sinar inframerah untuk mendeteksi rintangan yang ada pada jalan yang akan dilalui dengan memberi tanda lisan (suara), serta dapat juga menggunakan alat bantu yang lainnya yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan.
 

BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Profil Sekolah
1.        Visi
“ Lembaga pendidikan yang profesional dalam pendampingan anak berkebutuhan khusus dengan ciri ramah pembelajaran sehingga siswa dapat berkembang secara optimal sebagai pribadi utuh”.
2.        Misi
1.      Meningkatkan nilai keimanandan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Mengembangkan Penyelenggaraan, pengelolaan dan pendidikan secara profesional.
3.      Menerapkan manajemen berbasis sekolah dengan melibatkan setiap unsur sekolah.
4.      Meningkatkan keterbukaan dalam pengelolaan manajemen sekolah.
5.      Menanamkan pencitraan diri untuk berjiwa pemenang (gainer) dalam warga sekolah dengan memegang prinsip mungkin, harus, pasti (muhapa) bisa.
6.      Mengupayakan pelayanan dini kepada anak dengan melibatkan konsultan ahli yang berkompeten sebagai bentuk pelayanan anak kebutuhan khusus sesuai potensi perkembangan anak.
7.      Menumbuhkan semangat belajar dan menjalani kehidupan dengan optimis dengan semangat rohaniah rahmahiyah.
8.      Menumbuhkembangkan kepribadian peserta didik yang seimbang sebagai pribadi dan sosial.
9.      Memperluas jejaring (networking) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan pendidikan khusus.
3.        Data Sekolah
a.       Nama Sekolah             : SDLB Negeri Bendo
b.      Alamat                         : Jln. Cibareno No. 39 Blitar
c.       E-mail                          : sdlbnegeribendo@yahoo.co.id
d.      Kelurahan                     : Bendo
e.       Kecamatan                   : Kepanjen Kidul
f.        Kabupaten/kota            : Kota Blitar
g.       Propinsi                        : Jawa timur
h.       Kode Pos                     : 66116
i.         NIS                              : 280620
j.        NPSN                          : 20535108
k.      NSS                             : 101.05.65.01.059
l.         Akreditasi                     :B
m.     Status Sekolah              : Negeri
n.       Status Gedung              : Milik sendiri
4.        Data Kepala Sekolah
a.       Nama                           : Drs. Suud Wahyudi
b.      NIP                              : 19680610 199403 1 022
c.       Pendidikan Terakhir      : Sarjana (SI)
d.      Jurusan                         : PLB (Pendidikan Luar Biasa)
e.       Alamat Rumah              : Jl. Enggano GG. IV/7
f.        Kelurahan                     : Sanan Wetan
g.       Kecamatan                   : Sanan Wetan
h.       Kabupaten/ Kota          : Blitar
i.         Propinsi                        : Jawa Timur
j.        Nomor HP                   : 085649033689

3.2    Pelaksanaan Observasi
1.        Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekata kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dikakukan secara gabungan, analisis data bersifat indiktif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna (Sugiyono, 2007: 1).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas adalah suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama (Arikunto, 2006:3).
2.        Tempat Observasi
Observator melakukan kegiatan observasi di SDLB Negeri Bendo, Kabupaten Blitar.
a.       Nama Sekolah             : SDLB Negeri Bendo
b.      Alamat                         : Jln. Cibareno No. 39 Blitar
c.       Kelurahan                     : Bendo
d.      Kecamatan                   : Kepanjen Kidul
e.       Kabupaten/kota            : Kota Blitar
3.        Waktu Observasi
Kegiatan observasi di SDLB Negeri Bendo, Kecamatan Sanan Wetan, Kabupaten Blitar. Dilaksanakan pada hari Selasa, 19 Nopember 2013 mulai pukul 08.00 hingga pukul 09.00 WIB.
4.        Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini yang dijadikan subjek penelitian adalah siswa kelas II, IV, dan V A (Tuna Netra) SDLB Negeri Bendo Kecamatan Sanan Wetan, Kabupaten Blitar, dengan jumlah siswa sebanyak 6 anak yang terdiri dari 3 siswa laki-laki dan 3 siswa perempuan.
5.        Hasil Pengamatan
Berdasakan hasil observasi yang telah dilakukan siswa kelas II, IV, dan V A (Tuna Netra) SDLB Negeri Bendo Kecamatan Sanan Wetan, Kabupaten Blitar. Dalam kelas ini proses pembelajaran dilaksanakan seacara umum seperti pada SD, namun ada hambatan pada penglihatan. Metode yang digunakan adalah metode ceramah yang dipadukan dengan alat peraga supaya siswa mengetahui konsep yang sebenarnya. Misalnya, pada pelajaran macam-macam hewan guru harus membawa miniatur sapi. Dalam proses pembelajaran anak tuna netra menggunakan buku braile.
Kelemahan dalam proses pembelajaran yang terjadi di SDLB ini adalah: a) keterbatasan tenaga pengajar, sehingga satu guru dapat mengajar tiga jenjang kelas dengan jenis kelainan yang sama; b) tidak tersedia buku braile yang lengkap, sehingga guru harus mendektekan materi dari buku biasa kepada siswa. Hal ini memperlambat proses belajar karena satu buku pelajaran yang biasa jika dituls dengan huruf braille akan menjadi lima buku braille. Dengan demikian, guruy harus mampu menyimpulkan sesingkat mungkin dan pelajaran yang disampaikan harus lengkap.
Inti dalam mengajar anak tuna netra adalah pemahaman persepsi. Jika menggunakan buku biasa untuk menunjukan gambar dengan mengalihkan pernyataan/ bahasa. Misalnya dalam menunjukan gambar panjing. Guru bertanya, “apa saja alat untuk mencari ikan?, dsb. Jika tidak begitu masing-masing anak akan salah persepsi jika menggunakan gambar peraba. Karena masing-masing anak tidak meraba pada bagian yang sama.Dalam pelaksanaan ujian anak tuna netra diberikan tambahan waktu setenagah jam dari waktu yang diberikan untuk anak normal. Karena soal ujian menggunakan huruf braille. Dalam pembelajaran matematika anak tuna netra tidak diberi soal yang terlalu banyak seperti anak normal. Karena apabila diberi soal yang banyak anak tuna netra sudah capek menulis, karena menggunakan huruf braille sehingga tidak bisa berfikir untuk mengerjakan soal yang diberikan.
Di SDLB Negeri Bendo Kecamatan Sanan Wetan, Kabupaten Blitar, proses pembelajaran dimuali jam setengah delapan. Sebelum proses pembelajaran dimulai yaitu jam tujuh siswa dikumpulkan dilapangan untuk senam bersama, kemudian apel pagi dan dilanjutkan dengan pembacaan pancasila  lalu bersalaman dengan bapak dan ibu guru. Istirahat dimulai jam sembilan sampai jam setengah sepuluh. Kemudian masuk kembali dan pulang pada jam sebelas, tetapi sebelum pulang dilaksanakan sholat dhurur berjama’ah. Pada hari jumat semua siswa dan guru berolahraga bersama. Model olah raga yang digunakan adalah model olah raga adaftif yaitu olahn raga yang disesuaikan dengan kondisi anak tanpa mengurangi inti permainan. Pada hari sabtu diisi ekskul seperti pramuka dan keterampilan tangan.


BAB IV
PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkebutuhan khusus, seperti anak tuna netra memiliki hak yang sama seperti anak normal untuk mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai.
5.2    Saran
Calon guru SD atau guru SD seharusnya dapat mengidentifikasi anak yang berkebutuhan khusus agar dapat memberikan pelayanan yang sesuai.

6 komentar:

  1. Hai sy jihad.. sy ingin brtanya apakah kk tau permainan modifikasi u/ ank berkebutuhan khusus...???

    BalasHapus
  2. Maksud permainan modifikasi?

    BalasHapus
  3. Laporan hasil observasi yang saya tahu hanya terdiri atas pernyataan umum/klasifikasi dan aspek yang dilaporkan. Ini ada kajian teorinya .... bagus

    BalasHapus
  4. buku referensi nya apa yah ka ?

    BalasHapus
  5. Terimakasih kak. Saya sangat terbantu dengan ada nya penelitian kaka.

    BalasHapus